Politik Identitas Itu Tidak Masalah, Yang Masalah Itu Memalsukan Identitas

Politik Identitas

Ilustrasi Beragam Wajah Seorang Orator Politik, diambil dari Artikel Online MUI, melalui Google

Istilah Politik Identitas pertama kali digunakan Renee R Anspach pada tahun 1979. Renee sosiolog. Menulis artikel ilmiah tentang aktivisme politik para disabilitas di AS. Tujuan aktivisme ini, tulis Anspach, ingin mengubah konsepsi diri serta masyarakat pada orang disabilitas. Sampai tahun 1989, catat Mary Bernstein (2005), hanya ada tiga artikel ilmiah memakai istilah Politik Identitas. Artikel soal etnisitas, pedagogi kritis serta identitas budaya. Memasuki dekade ’90an, istilah ini dikaitkan pada kajian konflik etnik dan nasionalisme.

Spektrum referensi bahkan menunjukkan istilah politik identitas berkait pada pengalaman, budaya, identitas, politik dan kekuasaan. Utamanya aktivisme politik dari mereka yang tertindas, mereka yang tergusur, mereka yang terpinggirkan. Lantas, mereka melakukan perlawanan berbasis status budaya, etnik, jender, dan kondisi fisik.

”Kaum tertindas selalu percaya pada hal terburuk yang menimpanya,” ungkap Frantz Fanon. Ini pendekatan Neo-Marxis yang tak berbasis pada struktur kelas (Marxisme).

Konyolnya, begitu istilah ini masuk Indonesia, tujuannya spontan berubah. Jadi manipulatif. Digunakan kelompok pro-status quo untuk modus stereotyping, stigmatisasi serta labelisasi pada kelompok kritis di luar pemerintahan. Tujuannya, menutup keran aspirasi kelompok kritis, membungkam suara korektif. Jelas sudah, gerombolan pro-status quo sudah memelintir tujuan politik identitas, semata guna mempertahankan kekuasaan

Sebelumnya ada Islam liberal, gagal. Lanjut dengan Islam Nusantara, gagal. Kini muncul moderasi beragama, yang sebenarnya jelas arah dan sasarannya ke ummat Islam.
Sebenarnya ajaran Islam itu moderat sesuai “Tidak Ada Paksaan dalam Islam” Mengapa harus moderasi Islam, mengapa tidak pernah ada moderasi Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dll agama yg diakui negara. Perhatikan pernyataan-pernyataan pejabat negara itu!

Yang membedakan dengan sebelumnya, kali ini proyek langsung dikendalikan oleh negara melalui kementerian agama. Sebelumnya hanya dikelola oleh sekelompok orang dan organisasi kemasyarakatan.

Saya sempat iseng-iseng buka Youtube. Betul, proyek ini terlihat telah disiapkan lebih matang dibanding sebelumnya. Pejabat menjelaskan apa itu moderasi. Tapi ya itu, lha ujungnya kok bahas ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits? Tahu kan arahnya? Ya Islam. Islam dalam konteks pembahasannya nyata sekali ditempatkan pada posisi biang kerok. Pembawa masalah. Ancaman persatuan. Intoleran. Radikal. Inspirasi terorisme-lah. Dsb.

Nah ujungnya, umat Islam itu diarahkan agar jangan terlalu fanatik kepada ajaran agamanya. Boleh ber-Islam, ya ibadah mahdhah sajalah. Syariah perlu di-rekontekstualisasi [baca: diubah]. Tidak perlu meyakini bahwa hanya Islam yang benar. Semua agama benar. Begitu inti propaganda itu.

Untuk menguatkan, ada upaya memplesetkan tafsir-tafsir yang sudah masyhur. Mirip dengan apa yang dilakukan kalangan liberal sebelumnya. Tapi kemasannya lebih apik dan menggunakan orang-orang yang dianggap kredibel. Tapi baunya tetap sama, busuk.

Terbaru, ditampilkan sosok lulusan Timur Tengah dan Eropa, serta punya pesantren dengan berbagai gelar. Dia bilang Islam bukan agama yang sempurna. “Mana mungkin di dunia ada kesempurnaan?” katanya.

Dia juga bilang tidak masuk akal bahwa umat Islam akan masuk surga dengan kalimat tauhid laa ilaha illa Allah. “Ini menjadi tidak masuk akal. Masa masuk surga dengan ucapan? Memangnya film Berbi? Memangnya film Aladin? Jadi yang dijamin masuk surga itu yang mendukung Nabi dalam rangka membangun persatuan,” kata orang itu sebagaimana dikutip gelora.co (31/10/21)

Lengkap sudah serangan itu. Menuju yang paling mendasar yakni akidah Islam. Mengobrak-abrik prinsip/pondasi paling dasar yang ada di benak umat.

Saya berpikir, apa mungkin ada orang Islam yang bener, yang berani lancang seperti itu? Siapa dia? Imam madzhab? Grand syekh? Atau setara dengan itu? Tapi, soal sosok tak usah terlalu dibahas.

Saya jadi teringat dengan sejarah, bagaimana masuknya paham-paham merusak di dunia Islam. Semua berasal dari Barat, musuh Islam. Kemudian digunakan tangan-tangan generasi Muslim sendiri untuk menancapkannya, dan membunuh ‘ibu kandungnya’ yakni Islam.

Proyek moderasi setali tiga uang dengan itu. Coba perhatikan, buka buku, adakah pembahasan ulama masyhur tentang itu? Jujur, tak ada. Jadi, ini adalah proyek global, Barat dan musuh-musuh Islam, untuk melemahkan kekuatan umat Islam.

Ingat, meski umat Islam tidak lagi memiliki institusi pelindung, umat Islam masih punya pengikat yang kuat satu dan lainnya, sekaligus sebagai landasan hidup, way of life, itulah akidah Islam. Dengan akidah Islam, umat Islam masih memiliki peluang untuk bangkit kembali, melawan peradaban Barat. Ini yang tidak diinginkan oleh Barat semenjak perang Salib sampai sekarang.Tapi, tentu Barat tidak akan berani berhadapan face to face dengan umat Islam dengan ide-idenya yang bobrok itu. Di sinilah kita jadi paham, musuh-musuh Islam menggunakan mulut-mulut orang Islam untuk mencoba memadamkan cahaya agama Allah.

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (QS Ash-Shaff: 8).

Sekularisme dlm masyarakat Muslim muncul dlm berbagai langgam dan corak. Pengusung pertama kali ialah para orientalis Barat yang menjadi pembuka jalan penjajah/kolonial Barat atas negeri2 Muslim. Kemudian diteruskan corong2 mereka dari kalangan yg mengaku Muslim spt Thaha Husain dari Mesir thn 20an dan mereka bertebaran di negeri2 Muslim sampai saat ini, termasuk di Indonesia.

Jika para orientalis Barat berfungsi sebagai pembuka jalan penjajah kolonialis Barat atas bumi kaum Muslimin, maka corong2 mereka yg tersebar hari ini di negeri2 Muslim berfungsi utk melestarikan penjajahan itu sendiri. Intinya, mereka spt yg Allah jelaskan:

أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ ۚ بَلْ أُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Apakah dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasulnya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS Surat An-Nur (24) : 50)

Bandingkan dengan statemen seorang tokoh ini; “Kita mohon jangan pakai politik identitas, terutama identitas agama”. Apa masalahnya dengan statemen ini? Melucuti pandangan dari kerangka agama. Pelucutan pemikiran keagamaan umat dari aktivitas politik, tapi problemnya lagi adalah; ketika pikiran dilucuti dari agama, maka yang menyelimuti kemudian adalah sekularisme karena Netral dari agama itu sekular!.

Pendapat tersebut merupakan salah satu contoh strategi sekularisasi. Mengajak Muslim menjauhkan agama dalam ruang publik, termasuk dalam politik. Sebab, katanya, bila agama (baca: Islam) dan politik berpadu, maka terjadi apa yang dilakukan Sayidina Ustman, dan ajaran para ulama setelahnya.

Dalam pandangan faham sekularisme, politik berada di atas agama (Islam). Politik juga tidak ada sangkut-pautnya dengan agama. Politik memiliki ruang, agama pun memiliki ruang tersendiri. Kedua ruang harus dipisah.
Harvey Cox (1929) – tokoh gerakan sekularisasi di Barat – menyatakan bahwa masa modern adalah zaman yang tidak ada agama sama sekali, oleh karenanya perlu dijelaskan bagaimana berbicara Tuhan tanpa agama. Bernegara tanpa ada pembicaraan agama. Andai Harvey Cox jadi warga Indonesia hari ini, pasti akan ikut narasi-narasi menolak politik identitas.

Kita ini sedang hidup dalam bernegara dan berbangsa. Hidup bernegara dan berbangsa tanpa politik jelas tidak mungkin. Sekularisme mengajak hidup bernegara tanpa bicara agama. Agama Islam itu suci karena tanzil dari Allah Subhanahu Wata’ala, bersifat universal, Islam merupakan sumber moral (value) dalam segala aspek, dan sumber pembentuk kebudayaan Islam.

Cara-cara membuang agama dilakukan kaum sekular. Salah satu caranya dengan membuang agama dari politik. Cara ini barangkali cukup mudah. Dengan alat media massa, maka dibuat rekayasa fakta bahwa agama biang rusuh, sumber radikalisme, sumber keterbelakangan, memecah belah bangsa dan anti kebinekaan. Semua itu rekayasa saja belaka tidak pernah terbukti.

Tragedi kemanusiaan terbesar sampai hari ini adalah Perang Dunia I dan II. Siapa pelakunya? Ternyata Negara-negara sekular juga aktor utamanya. Penjajahan terhadap negeri-negeri Asia – Afrika menyebabkan kemiskinan berkelanjutan dan korban mati jutaan. Siapa aktornya? Bangsa eropa. Jadi siapa sumber rusuh manusia, perpecahan negara dan kekerasaan menyebabkan kematian?

Dalam pandangan alam Islam, politik itu berada di bawah agama dan bagian daripada agama. Sedangkan pemimpin politik atau pemimpin agama adalah jabatan biasa yang ditipkan oleh Allah Swt yang dibutuhkan oleh warga negara. Politik bukan sekedar ber-partai. Tetapi politik adalah managemen memimpin suatu kelompok masyarakat. Jadi, politik bukan sekedar cara merebut kekuasaan. Itu pandangan politik yang sempit dan sekular.
Tujuan mengangkat pemimpin pun untuk maslahah dunia dan akhirat. Imam al-Ghazali mengatakan:

أن السلطان ضروري في نظام الدنيا، ونظام الدنيا ضروري في نظام الدين، ونظام الدين ضروري في الفوز بسعادة الآخرة وهو مقصود الأنبياء قطعا، فكان وجوب نصب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه فاعلم ذلك.

Pemimpin itu diperlukan dalam mengatur dunia ini, dan sistem dunia ini diperlukan dalam mengatur agama, dan sistem agama diperlukan untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat, dan demikian itu adalah misi para Nabi (Imam al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad,161).

Narasi Imam al-Ghazali tersebut merupakan statemen politik identitas. Karena memang, ulama-ulama kita itu merupakan teladan baik dalam memegang teguh identitas keagamaannya.

Jika sufi seperti Imam al-Ghazali peduli pada kepemimpinan seperti itu, maka kita sebagai umatnya jangan takut dengan narasi politik identitas. Sebab politik identitas sejatinya normal, wajar dan lumrah. Narasi-narasi intoleransi, kekerasan dan radikalisme dalam politik identitas hanyalah angan-angan kaum sekular yang sinis pada agama. Jangan terlalu dipercaya!. Percayalah pada imam al-Ghazali. (Ariadi Tanjung, sebagaimana ditayangkan di halaman Facebook atas nama Ariadi Tanjung pada 14-September-2023)